Mengenang Sang Pujangga Indonesia, Saparji Djoko Darmono

    Mengenang Sang Pujangga Indonesia, Saparji Djoko Darmono

    Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono merupakan seorang pujangga ternama di Indonesia. Sapardi Djoko Damono banyak melahirkan karya-karya yang menjadi populer.

    Melalui karya-karyanya, Sapardi Djoko Damono juga banyak mendapat penghargaan-penghargaan besar baik dari dalam maupun luar negeri.

    Di sisi lain, awal karir menulis Sapardi dimulai dari bangku sekolah. Saat masih di sekolah menengah, karya-karyanya sudah sering dimuat di majalah. Kesukaannya menulis semakin berkembang saat kuliah di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada (UGM).

    Dalam tulisan-tulisannya Sapardi Djoko Damono kerap meluncurkan puisi-puisi indah. Tentu banyak puisi karya Sapardi Djoko Damono yang mempunyai tempat tersendiri di hati para penggemarnya.

          HUJAN BULAN JUNI

    tak ada yang lebih tabah

    dari hujan bulan Juni

    dirahasiakannya rintik rindunya

    kepada pohon berbunga itu

    tak ada yang lebih bijak

    dari hujan bulan Juni

    dihapusnya jejak-jejak kakinya

    yang ragu-ragu di jalan itu

    tak ada yang lebih arif

    dari hujan bulan Juni

    dibiarkannya yang tak terucapkan

    diserap akar pohon bunga itu

                     AKU INGIN

    Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

    dengan kata yang tak sempat diucapkan

    kayu kepada api yang menjadikannya abu

    Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

    dengan isyarat yang tak sempat disampaikan

    awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

          HATIKU SELEMBAR DAUN

    Hatiku selembar daun

    melayang jatuh di rumput;

    Nanti dulu,

    biarkan aku sejenak terbaring di sini;

    ada yang masih ingin kupandang,

    yang selama ini senantiasa luput;

    Sesaat adalah abadi

    sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.

          YANG FANA ADALAH WAKTU

    Yang fana adalah waktu. Kita abadi memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga

    sampai pada suatu hari

    kita lupa untuk apa

    "Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?" tanyamu.

    Kita abadi.

           Pada Suatu Hari Nanti

    Pada suatu hari nanti,

    Jasadku tak akan ada lagi,

    Tapi dalam bait-bait sajak ini,

    Kau tak akan kurelakan sendiri.

    Pada suatu hari nanti,

    Suaraku tak terdengar lagi,

    Tapi di antara larik-larik sajak ini.

    Kau akan tetap kusiasati,

    Pada suatu hari nanti,

    Impianku pun tak dikenal lagi,

    Namun di sela-sela huruf sajak ini,

    Kau tak akan letih-letihnya kucari

                      HANYA

    Hanya suara burung yang kau dengar

    dan tak pernah kaulihat burung itu

    tapi tahu burung itu ada di sana

    Hanya desir angin yang kaurasa

    dan tak pernah kaulihat angin itu

    tapi percaya angin itu di sekitarmu

    Hanya doaku yang bergetar malam ini

    dan tak pernah kaulihat siapa aku

    tapi yakin aku ada dalam dirimu

    SAJAK  KECIL TENTANG CINTA

    Mencintai angin harus menjadi siut

    Mencintai air harus menjadi ricik

    Mencintai gunung harus menjadi terjal

    Mencintai api harus menjadi jilat

    Mencintai cakrawala harus menebas jarak

    Mencintai-Mu harus menjelma aku

    MENJENGUK WAJAH DI KOLAM JANGAN KAU ULANG LAGI

    menjenguk

    wajah yang merasa

    sia-sia, yang putih

    yang pasi

    itu.

    Jangan sekali-

    kali membayangkan

    Wajahmu sebagai

    rembulan.

    Ingat,

    jangan sekali-

    kali. Jangan.

    Baik, Tuan.

                  AKULAH SI TELAGA

    akulah si telaga:

    berlayarlah di atasnya;

    berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil

    yang menggerakkan bunga-bunga padma;

    berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;

    sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja

    perahumu biar aku yang menjaganya.

                       DALAM DIRIKU

    Dalam diriku mengalir sungai panjang

    Darah namanya;

    Dalam diriku menggenang telaga darah

    Sukma namanya;

    Dalam diriku meriak gelombang sukma

    Hidup namanya!

    Dan karena hidup itu indah

    Aku menangis sepuas-puasnya.

    Oleh : Anwar Resa                                     ...   ..      Jurnalis Nasional Indonesia 

    Bogor
    Anwar Resa

    Anwar Resa

    Artikel Sebelumnya

    Sudut Pandang Jurnalis : Ado Banteng di...

    Artikel Berikutnya

    Perjanjian Kerajaan Sunda Padrao Dengan...

    Berita terkait